Dewan Pers, Totok Suryanto:
Kemerdekaan Pers untuk Pelihara Transparansi
Totok Suryanto, narasumber mewakili Dewan Pers dalam Dialog Publik Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Jurnalis Divhumas Polri. (Foto: Screenshoot video Okesulsel.com/ABDUL).
Okesulsel.com, MAKASSAR -- Bicara tentang persatau jurnalistik terkadang bersentuhan dengan problematika yang menjadi attensi publik. Apalagi kalau isunya terkait dengan kemerdekaan pers dan perlindungan jurnalis.
Adalah Divisi Hubungan Masyatakat (Divhumas) Polri sensitif menyikapi isu tersebut. Dalam rangka HUT Bhayangkara ke-77 tahun 2023, Divhumas Polri menggelar Dialog Publik dengan tema, " Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Jurnalis ".
Dialog publik digelar secara daring itu diikuti seluruh Polda jajaran dan Polres jajaran seluruh Indonesia, Rabu, (31/5-2023). Tidak main-main, giat yang digelar di Mabes Polri ini mengahadirkan 4 sosok narasumber kompeten di bidang pers, komunikasi dan juga bidang hukum.
Jelasnya, sebagai narasumber; (1). Totok Suryanto dari Dewan Pers R.I, (2). Kombes Pol Adi, Kabag Hukum Divisi Hukum Mabes Polri, (3). Kombes Pol Basuki Effendi, S.H., M.H, Anjak Cyber Bareskrim Polri dan (4). Dr Devie Rahmawati, pengajar dan peneliti program studi Hubungan Masyarakat Vokasi UI (Universitas Indonesia). Sementara peserta diskusi wartawan dari berbagai organisasi kewartawanan, mahasiswa unsur humas dan yang lainnya.
Di Polda Sulsel yang dipantau langsung media ini, monitoring dialog publik berlangsung di ruang Vicon (Video Conference) lantai 2 Mapolda Sulsel, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar hari itu, Rabu 31 Mei 2023.
Monitoring dialog publik dihadiri Kabidhumas Polda Sulsel Kombes Pol Koman Suartana, Kasubid Penmas Kompol Yerlin Tending Kate, S. Kom, Kasubidkum Bidhumas dan jajaran Bidhumas Polda Sulsel. Dari kepolisian, terlihat pula ada yang mewakil Dirreskrimum, Dirsamapta, Dansat Brimob Polda Sulsel dan yang lainnya.
Unsur lainnya, nampak hadir Ketua PWI Sulsel diwakili Daswar M. Rewo, pengurus PWI yang juga Direktur Harian Rakyat Sulsel, Pemimpin Redaksi Harian FAJAR, wartawan Okesulsel.com, Abdul Muin L.O dan jurnalis lainnya. Termasuk juga, Ketua IJTI (Iktan Jurnalis Televisi Indonesia) Sulsel, Ketua Pewarta Foto dan yang lainnya.
Di ruang vicom Mapolda Sulsel, dialog publik itu baru termonitor pukul 10.30 Wita. Pemandu dialog Stevani Ginting yang juga seorang jurnalis memulai mempersilahkan petugas pembacaan doa. Dilanjutkan dengan sambutan sekaligus pernyataan resmi dibukanya dialog publik. Setelah itu pemberian cindramata kepada 4 nara sumber oleh Divhumas Polri.
Sayangnya, dalam monitoring Dialog Publik dengan tajuk Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Jurnalis di Mapolda Sulsel tak diagendakan interkaksi langsung dengan pusat dialog publik. Tercatat hanya Polda Maluku dan Polres Bogor Polda Jawa Barat yang termonitor berinteraksi langsung. Meski demikian, asal fokus mengikutinya, tak mengurangi makna yang dapat dipetik dari giat itu.
Kemerdekaan Pers Hak Mendasar
Kepala Biro Pengelola Informasi dan Dokumentasi (Karo PID) Divhumas Polri, Brigjen Pol Drs Mohamad Hendra Suhartiyono, M. Si dalam sambutannya pada intinya berterima kasih dan mengapresiasi semua pihak yang mendukung dan berkontribusi sehingga dialog publik ini dapat terlaksana. Utamanya kepada 4 narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk giat ini.
Karo PID Divhumas Polri itu kemudian memaparkan tentang begitu pentingnya mewujudkan kemerdekaan pers itu guna memperkuat sistem demokrasi kita. Sekilas sambutannya disarikan berikut ini.
Menurut Hendra Suhartiyono, pers merupakan pilar ke-4 demokrasi, maka kemerdekaan pers merupakan hak yang azasi dan mendasar dan sangat penting dalam sistem demokrasi yang kuat. Kemerdekaan pers dimaksudkan, kebebasan untuk menyampaikan informasi dan pendapat tanpa rasa takut akan sanksi hukum dari pemerintah atau pihak lain.
Hendra Suhartiyono juga mengakui pihak Polri senantiasa mendukung kebebasan pers itu. Terkait dengan sanksi, negara telah mempunyai peraturan dan hukum yang berlaku. Lebih kurang seperti itulah makna sambutan Karo PID Divhumas Polri yang kemudian membuka secara resmi dialog publik hari itu yang ditandai dengan ketukan palu (bandul) 3 kali.
Acara inti berupa dialog publik dimulai, moderator Stevani Ginting mempersilahkan Totok Suryanyo dari Dewan Pers untuk tampil pertama memaparkan materinya. Sedikit mengejutkan, sosok anggota Dewan Pers itu menilai ada kecenderungan kemerdekaan pers itu dalam ancaman.
Oleh karena itu, Totok Suyanto menekankan, penting bagi masyarakat sipil, organisasi hak asasi manusia, dan komunitas jurnalis untuk bersatu dan memperjuangkan kebebasan pers itu.
Di bagian lain ditegaskan juga bahwa terkait dengan upaya mewujudkan kemerdekaan pers diperlukan perindungan hukum. "Perlindungan hukum yang kuat, transparansi pemerintah, dan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers adalah langkah-langkah penting untuk melawan ancaman terhadap kemerdekaan pers, " kilah Totok Suryanto.
Dalam hukum, perlindungan ini tercermin dalam perundang-undangan yang melindungi wartawan dari tekanan dan kekerasan. Dasar hukum yang dimaksudkan tercermin dalam UUD 1945 pasal 28 ayat sekian dan UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Jaga Martabat Jurnalis
untuk Perkuat Peradaban
Totok Suryanto juga menyampaikan, bila terjadi pemberitaan yang diaggap tidak benar atau merugikan pihak lain hendaknya menggunakan hak jawab, atau dilaporkan ke Dewan Pers. Maksudnya, menempuh jalur hukum itu pilihan terakhir.
Intinya, wakil dari Dewan Pers itu menegaskan bahwa di alam demokrasi kemerdekaan pers itu amat penting. "Kemerdekaan pers itu penting untuk memelihara transparansi dan jurnalis harus freedom," tandasnya,
Hal, senada disampaikan pemateri berikutnya, Kabag Hukum Divisi Hukum Polri, Kombes Pol Adi. Menurutnya, perlindungan kemerdekaan pers dari perspektif hukum dan demokrasi, menjadi landasan penting dalam menjaga kebebasan media, kebebasan berekspresi, dan partisipasi publik.
Sementara itu, nara sumber selanjutnya tampil Anjak Cyber Bareskrim Polri, Kombes Pol Basuki Effendi, S.H., M.H. Sosok perwira menengah polisi ini juga melihat kemerdekaan pers dan perlindungan jurnalis itu penting. Dia menegaskan bahwa perlindungan jurnalis harus sejalan dengan tanggung jawab profesional dan memegang teguh etika jurnalistik.
"Jurnalis harus beroperasi dengan integritas, menghormati fakta dan kebenaran, dan menghormati hak-hak individu lainnya;" ujarnya.
Nara sumber terakhir, pengajar dan peneliti program studi Hubungan Masyarakat Vokasi UI (Universitas Indonesia), Dr. Devie Rahmawati. Pemateri yang satu ini dikenal kerap jadi narasumber media nasional maupun internasional dalam isu sosial, budaya dan komunikasi.
Seperti biasanya, Devie Rahmawati tampil dengan lebih awal berpantun. Praktis, dialog yang telah berjalan sejam lebih kembali segar dan bergairah dengan untaian pantunnya. Sosok wanita pengamat sosial itu memaparkan panjang-lebar tentang kecenderungan kesenjangan kepercayaan publik terhadap berita dan informasi media.
Devie Rahmawati mengistilahkan, dalam era digital ini terjadi "tsunami informasi". Kendati demikian, praktisi komunikasi itu melihat kepercayaan terhadap media dan informasi di Indonesia masih cukup tinggi. Pemaparan Dr Devie Rahmawati dan tanggapan-tanggapan audience dalam dialog publik ini ditulis spesial di media ini di bagian lain.
Di ruang ini, terakhir hanya ingin mengutip semacam closing statement akademisi UI ini yang berharap perlunya menjaga martabat media atau jurnalis untuk memperkuat peradaban. "Jaga martabat jurnalis untuk memperkuat peradaban," cetusnya menuntaskan pemaparannya. (*).
Totok Suryanto juga menyampaikan, bila terjadi pemberitaan yang diaggap tidak benar atau merugikan pihak lain hendaknya menggunakan hak jawab, atau dilaporkan ke Dewan Pers. Maksudnya, menempuh jalur hukum itu pilihan terakhir.
Intinya, wakil dari Dewan Pers itu menegaskan bahwa di alam demokrasi kemerdekaan pers itu amat penting. "Kemerdekaan pers itu penting untuk memelihara transparansi dan jurnalis harus freedom," tandasnya,
Hal, senada disampaikan pemateri berikutnya, Kabag Hukum Divisi Hukum Polri, Kombes Pol Adi. Menurutnya, perlindungan kemerdekaan pers dari perspektif hukum dan demokrasi, menjadi landasan penting dalam menjaga kebebasan media, kebebasan berekspresi, dan partisipasi publik.
Sementara itu, nara sumber selanjutnya tampil Anjak Cyber Bareskrim Polri, Kombes Pol Basuki Effendi, S.H., M.H. Sosok perwira menengah polisi ini juga melihat kemerdekaan pers dan perlindungan jurnalis itu penting. Dia menegaskan bahwa perlindungan jurnalis harus sejalan dengan tanggung jawab profesional dan memegang teguh etika jurnalistik.
"Jurnalis harus beroperasi dengan integritas, menghormati fakta dan kebenaran, dan menghormati hak-hak individu lainnya;" ujarnya.
Nara sumber terakhir, pengajar dan peneliti program studi Hubungan Masyarakat Vokasi UI (Universitas Indonesia), Dr. Devie Rahmawati. Pemateri yang satu ini dikenal kerap jadi narasumber media nasional maupun internasional dalam isu sosial, budaya dan komunikasi.
Seperti biasanya, Devie Rahmawati tampil dengan lebih awal berpantun. Praktis, dialog yang telah berjalan sejam lebih kembali segar dan bergairah dengan untaian pantunnya. Sosok wanita pengamat sosial itu memaparkan panjang-lebar tentang kecenderungan kesenjangan kepercayaan publik terhadap berita dan informasi media.
Devie Rahmawati mengistilahkan, dalam era digital ini terjadi "tsunami informasi". Kendati demikian, praktisi komunikasi itu melihat kepercayaan terhadap media dan informasi di Indonesia masih cukup tinggi. Pemaparan Dr Devie Rahmawati dan tanggapan-tanggapan audience dalam dialog publik ini ditulis spesial di media ini di bagian lain.
Di ruang ini, terakhir hanya ingin mengutip semacam closing statement akademisi UI ini yang berharap perlunya menjaga martabat media atau jurnalis untuk memperkuat peradaban. "Jaga martabat jurnalis untuk memperkuat peradaban," cetusnya menuntaskan pemaparannya. (*).
Penulis/Editor: ABDUL
Informasi: Berita ini juga dimuat NuansaBaru.ID, media partner Okesulsel.com.