Kasus Mafia Tanah di Bendungan Paselloreng Wajo Diduga Rugikan Negara Rp 13,2 M Lebih
Suasana para tersangka siap ditahan di Rutan dan Lapas Kelas 1 A Makassar. (Foto: Dok. Kejati Sulsel). |
Okesulsel.com, MAKASSAR - Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, 6 (enam) saksi dari kasus pembayaran ganti rugi lahan pembangunan Proyek Bendungan Paselloreng Kabupaten Wajo ditetapkan sebagai tersangka. Di samping itu, 1 tersangka ditahan di Rutan Kelas I A dan 5 tersangka ditahan di Lapas Kelas I A Makassar.
Keenam saksi yang dinaikkan statusnya menjadi tersangka yakni tersangka inisial AA, Ketua Satgas B Kantor Pertanahan Wajo, 3 aggota Satgas B perwakilan masyarakat yakni tersangka ND, NR dan AN.
Kemudian, 2 tersangka anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) yakni inisial AJ dan JK. Tersangka JK, selain anggota P2T ia juga dikenal sebagai Kepala Desa Arajang Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo.
Informasi dari Kasi Penerangan Hukum Kejati Sulsel menyebutkan, keenam tersangka, AA, ND, NR, AN, AJ dan JK ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik mendapatkan minimal dua alat bukti yang sah, sebagaimana yang diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik selanjutnya memeriksakan kesehatan para tersangka kepada Tim Dokter dari Dinas Kesehatan Kota Makassar yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dalam keadaan sehat serta tidak dalam keadaan covid (tidak terjangkit Covid19).
Selanjutnya, kepada para tersangka tersebut dilakukan tindakan penahanan selama 20 (dua puluh) hari. Terhitung mulai tanggal 26 Oktober 2023 s.d. 14 Nopember 2023.
Untuk tersangka AA dilakukan penahanan di Rutan Kelas IA Makassar. Sedangkan untuk 5 (lima) tersangka AJ, JK, ND, NR dan AN dilakukan penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1A Makassar.
Alasan penahanan kepada para tersangka karena dikhawatirkan para tersangka dapat menghilangkan barang bukti dan alat bukti yang berkaitan dengan transaksi dan pembayaran tanah ex Kawasan Hutan itu.
Ketika pihak Kejati Sulsel berikan keterangan pers di Makassar tentang kasus dugaan korupsi mafia tanah Bendungan Paselloreng Wajo. (Foto: Dok Kejati Sulsel). |
SPORADIK tak Sesuai Fakta di Lapangan
Adapun kasus yang menjerat dan menjadikan AA sebagai tersangka dan sebagai orang yang turut serta atau bersama-sama dengan tersangka ND, NR, AN, AJ dan JK, uraiannya berikut ini.
Pada tahun 2015 Balai Besar Wilayah Sungai
(BBWS) Pompengan Jeneberang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo.
Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo diantaranya, terdapat lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Passeloreng tersebutm, telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan HPT.
Selanjutnya, dilakukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan. Salah satunya, untuk kepentingan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
Pada tanggal 28 Mei 2019, terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor : SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/ 2019, tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas + 91.337 (sembilan puluh satu ribu tiga ratus tiga puluh tujuh) hektar. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 hektar dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 hektar di Provinsi Sulawesi Selatan.
Setelah mengetahui adanya kawasan hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan bendungan Paselloreng maka tersangka AA, (selaku Ketua Satgas B dari BPN Kabupaten Wajo) memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada tanggal 15 April 2021.
Surat Pênyataan (SPORADIK) tersebut lalu diserahkan kepada tersangka AJ selaku Kepala Desa Paseloreng untuk ditandatangani dan tersangka JK selaku Kepala Desa Arajang turut menandatangani SPORADIK untuk tanah eks Kawasan yang termasuk di Desa Arajang.
Bahwa isi SPORADIK diperoleh dari informasi dari tersangka ND, tersangka NR dan tersangka AN selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat yang mana isi SPORADIK yang dimasukkan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Bahwa oleh karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks Kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan, maka pembayaran terhadap 241 bidang tanah telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 13.247.332.000,- (tiga belas miliar dua ratus empat puluh tujuh tiga ratu tiga puluh dua ribu rupiah) atau 13,2 miliar rupiah lebih berdasarkan hasil perhitungan BPKP Provinsi Sulsel.
Pasal yang disangkakan kepada tersangka:
Primair : Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor : 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor : 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Subsidair, Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor : 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor : 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP. (*)
Penulis/Editor: ABDUL
Informasi: Berita ini juga tayang di NuansaBaru.ID, media partner Okesulsel.com (terverifikasi Dewan Pers).